Hari itu
adalah hari dimana para
pelajar di SMA Gloria datang ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan.
Mungkin, itu adalah hari terakhir Stanley dapat berkumpul dengan teman teman
sekolahnya. Semua orang datang ke sekolah dengan tegang karena ingin memastikan
nama mereka tercantum sebagai siswa yang lulus atau tidak di majalah dinding
sekolah. Ada sebagian yang telah melihat namanya dipastikan lulus. Mereka lompat
dengan senangnya, berteriak “Lulus! Lulus!” dengan hebohnya, berpelukan dengan
orang orang terdekatnya selama 3 tahun terakhir.
“Aku lulus!” Stanley berteriak.
Tak lain dari teman temannya,
Stanley pun lulus dari SMA Gloria. Inilah yang seharusnya menjadi saat saat
Stanley melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, ia belum terpikir
untuk kuliah. Ia ingin meluangkan dahulu waktunya untuk berkarya tanpa ada
batas. Terbukti, dirinya langsung bergegas pergi ke tempat dia bersama teman teman bermusiknya berkumpul.
Ia langsung memberi tahu teman temannya bahwa sekarang ia sudah independen.
Ia berkata bahwa bandnya sekarang dapat berkarya sepuasnya dan mencari panggung
sebanyak banyaknya untuk pentas.
Mimpinya untuk menjadi Rock Star tidak ia dapatkan dengan mulus
dan mudah bersama The Brave Kids.
Memang itulah proses. Mereka berlatih berpindah pindah dari satu studio ke yang lain. Mereka tak jarang
menemukan tempat latihan yang kurang bagus. Ada tempat yang ruangannya sangat
panas, alat alat musiknya buruk, sampai yang memiliki sound system yang berbunyi kecil.
Tapi semua masalah tentang
tempat latihannya dapat mereka lupakan dengan mendapatkan banyak panggung untuk
unjuk kebolehan bandnya. Setiap bulan, paling sedikit mereka mendapatkan 2
jadwal konser. Tetapi, mereka tidak selalu mendapat memori indah di setiap
panggung. Terkadang mereka hanya ditempatkan sebagai penampil yang paling awal
sehingga penonton pun belum hadir.
“Dasar anak anak kecil yang baru
kenal musik! Aliran bermusik yang tidak jelas arahnya!”
Mereka memang sesekali menerima
cemoohan. Bahkan, mereka terkadang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan
dari penggelar acara maupun penyaji alat alat musik dan sound system.
Tapi semua itu menjadi pelajaran
berharga bahkan dapat dijadikan memori yang sangat menarik untuk diceritakan
kini. Lambat laun, Stanley menjadi drummer
yang cukup terlatih. Segala kesulitannya terbayar dengan keberhasilan yang
cukup membahagiakan bagi mereka. Sekarang mereka telah mempunyai 13 lagu yang
siap mereka kemas sebagai album. Semua
lagunya murni hasil dari curahan pikiran mereka. Sungguh hal yang memuaskan.
Tibalah hari dimana album perdana mereka yang bertajuk Journey To Victory dirilis. Mereka
menggelar acara perayaannya dengan mengundang sejumlah band band seperjuangan
mereka. Tak lupa, mereka pun mengundang orang orang terdekat yang selalu
mendukung dan mengikuti rekam jejak band mereka. Mereka mementaskan semua lagu
mereka dengan mulus dan lancar. Semua orang bertepuk tangan dan memberi ucapan
selamat kepada mereka. Sebagai penutup, satu per satu dari mereka mengucapkan
pesan, kesan, serta ucapan terima kasih kepada pengunjung acara.
“Hei, Stanley! Acara yang hebat!
Mengagumkan dan kau harus menciptakan acara yang lebih hebat dari ini
secepatnya!” Seorang penonton memuji Stanley atas acaranya.
Stanley menyadari bahwa orang
tersebut adalah Jon, teman bermusiknya semasa SMA di band Struggle yang beranggotakan 3 orang yaitu mereka bersama Bobby. Malam
itu, Bobby tidak datang karena kabarnya, Bobby meneruskan studinya di luar
kota. Bobby hanya menitipkan ungkapan rasa bangganya terhadap Stanley atas
pencapaian bandnya. Mereka pun bercanda tawa, memuji satu sama lain atas karya
karya mereka. Sampai pada akhir pembicaraan, Jon bermaksud untuk bergabung
dengan The Brave Kids.
“Bukankah kau termasuk dalam
band Vivo?” Stanley menanggapi
permintaan Jon yang ingin daftar menjadi pemetik gitar The Brave Kids.
Jon tetap bersikeras masuk ke band
Stanley. Tetapi, Stanley tetap saja menolak Jon karena dari awal The Brave Kids dibentuk, mereka berjanji
agar tidak meninggalkan dan mengeluarkan siapapun dari band tersebut. Jon pulang
dengan kecewa meskipun Stanley telah membicarakan hal tersebut secara baik.
Setibanya di rumah, Jon membuat
sebuah rencana yang lain. Ia bergegas ke tempat berkumpulnya anak anak band Vivo. Ia menginginkan bandnya agar
tampil satu acara dengan The Brave Kids. Mereka
sepakat mendaftarkan nama bandnya agar tercantum dalam susunan acara tersebut.
Malam pentas pun tiba. Vivo bermain terlebih dahulu dari The Brave Kids. Vivo bermain dengan
sentuhan sentuhan bermusik yang sangat rapih dan teratur. Penonton bersorak memberi
pujian dan bertepuk tangan. Setelah Vivo turun
panggung, acara pun berhenti sejenak untuk istirahat dan menjadi waktu dimana
para panitia mengevaluasi berjalannya acara sejauh ini. Ketika waktu istirahat
selesai, band yang para penonton tunggu tunggu akhirnya naik panggung. Mereka
berkumpul dengan padat untuk menyaksikan band yang pemukul drumnya adalah
Stanley, The Brave Kids. Mereka
menampilkan 5 lagu dari album yang
baru baru ini dirilis. Penonton pun menikmati, menari, dan bernyanyi bersama.
Ketika hendak menyanyikan lagi terakhir, aliran listrik mati. Seisi ruangan
berteriak kaget karena gelapnya ruangan konser. Tak lama, ruangan kembali
terang. Aliran listrik kembali berjalan tetapi The Brave Kids yang pada saat itu masih berada di atas panggung,
menemukan sound system mati dan
terlihat ada percikan api api kecil dari kabelnya. Kemudian, sound system terbakar.
“Pria pria yang sedang di atas
panggung itu memiliki beberapa gram narkoba di dalam tas mereka yang berada di
samping panggung!” Terdengar teriakan dari seseorang yang berdiri di dekat
gerbang masuk. Orang itu tidak dikenali karena ia langsung pergi.
Pihak keamanan dan polisi yang
berada di tempat itu pun menggeledah tas yang dimaksud. Ternyata benar adanya.
Di tas tersebut tersimpan ganja dan sabu. Mendengar itu, personil personil The Brave Kids lari sekencang kencangnya
dengan berpencar. Stanley berpisah dengan 2 personil lain, Dune dan Jim. Ia
berlari bersama 1 personil lainnya, Zach.
“Stanley! Hati hati di depanmu!”
Zach berlari lebih lambat dari Stanley sehingga ia berada di belakang Stanley.
Ia melihat di depan Stanley ada jurang. Lalu, terjatuhlah Stanley. Zach meninggalkan
Stanley dengan belok arah karena melihat polisi semakin dekat dengannya.
Dune, Jim, dan Zach akhirnya bertemu di suatu tempat yang sepi dan
sepertinya para polisi tidak berhasil menemukannya. Zach memberi tahu bahwa
Stanley jatuh ke jurang yang lumayan dalam dan licin. Mereka kembali lagi ke
tempat jatuhnya Stanley untuk mencarinya. Namun, hasilnya nihil. Stanley telah
hilang.
“Kaki kanan Stanley mungkin
terkena benda tajam. Keadaannya parah, infeksinya tak tertolong. Butuh
diamputasi.” Seorang dokter berkata.
Stanley kini berada di Rumah
Sakit Inferno. Ia ditemukan dan dibawa ke rumah sakit oleh Bobby. Saat Stanley
sadarkan diri, ia menangis melihat kaki kanannya.
“Bobby? Apakah itu kau? Mengapa
kau ada disini?” Stanley memanggil seorang pria yang menunggunya di ruangan
rumah sakit itu.
“Aku hadir di acara semalam. Aku
tahu kronologi kejadiannya selengkapnya. Aku menemukan kau di jurang. Lalu, aku
bawa kau kesini. Dokter bilang kaki kananmu terpaksa harus diamputasi. Aku
menyesal untuk mengatakan ini.” Bobby berkata.
Keesokan harinya, Stanley
terbangun kembali dari tidurnya. Ia melihat telah banyak teman temannya
mengelilinginya. Ia melihat kaki kanannya telah tiada. Kini kaki kanannya hanya
tersisa hingga lutut saja. Hancurlah hati juga harapannya untuk menjadi drummer handal. Satu hal yang ia tetap
syukuri yaitu nyawanya belum hilang.
“Ada yang kurang disini. Dimana
Jon?” Stanley bertanya.
“Waktu itu aku bilang bahwa aku
tahu secara detil kronologi kejadian pada malam itu. Aku mendengar bahwa 2
teman terbaikku di masa SMA akan berada di satu panggung. Aku menyempatkan
untuk berkunjung ke acara tersebut. Lalu, aku pun terkejut atas semua yang
terjadi. Aku melaporkan Jon kepada pihak berwajib untuk menangkapnya atas
perbuatannya. Ia yang mematikan dan menyalakan kembali aliran listrik di
tempatmu konser. Ia yang membuat sound system
terbakar dan ia yang menaruh sejumlah ganja dan sabu di tas tasmu.” Bobby, jelas.
“Bawa aku ke tempat dimana Jon
dibui!” Stanley memaksa.
Mereka berangkat ke penjara
dimana Jon mendekam. Setibanya disana, Jon terlihat sangat berbeda. Ia terlihat
lemas, kurus, berkantung mata, wajahnya menghitam bagai orang tak terurus
hidupnya.
“Stanley! Aku ingin meminta maaf
atas semua yang terjadi. Aku menyesal. Tak seharusnya kau yang aku perlakukan
seperti itu. Aku memang sangat bodoh, egois, tak memikirkan sesama.” Jon
langsung berlutut kepada Stanley yang pada saat itu duduk di kursi roda dan
terlihat kakinya hanya satu.
“Bangunlah, Jon! Kau tidak perlu
seperti itu. Aku telah memaafkanmu karena aku mengerti apa yang ada dipikiranmu
saat itu. Berdirilah, angkat kepalamu, tegakkan badanmu! Kau musisi yang sangat
hebat bahkan lebih hebat dari teman teman gitaris
yang lain. Kau berpotensi tinggi menjadi bintang di bidang musik kelak
karena kau berkarya atas nama hati.” Stanley berkata kepada Jon.
“Tapi, mengapa kau tak membalas
dendammu kepadaku? Aku memang sangat biadab, Stanley. Aku bahkan telah
menghilangkan modal yang sangat berharga untukmu menjadi seorang drummer.” Jon menangis.
“Lupakan saja. Gagal untuk
bermusik bukan berarti gagal untuk bekerja di bidang musik, bukan?” Stanley
tetap besar hati.
Setelah Jon bebas dari bui,
Mereka semua memulai kehidupan bermusik dari awal dan bersama sama berkarya
tanpa batas dengan membentuk band baru bernama Kings. Mereka berjalan dari nol sampai akhirnya sekarang mereka
sedang menjalani Tur Dunia. Bobby keluar dari kuliahnya dan memutuskan untuk
bermusik saja. Jon bermain gitar dan bernyanyi, Bobby bermain bass, Zach
bermain gitar juga, dan pemukul drumnya mereka ambil dari band Vivo yaitu
Mike. Stanley bekerja di belakang layar. Ya, Ia menjadi produser Kings.
Cerpen "Para Raja" karya
ILHAM HABIBIE
kelas: XI MIA 3
2 0 1 4